![]() |
| {Foto Illustrasi] |
اَلْحَمْدُ للّٰهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ عَلىَ اَشْرَفِ اْللأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ سَيِّدِناَ وَمَوْلٰنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ، اَمَّا بَعْدُ.
Ayah Murarah رضي الله عنه ialah Rabi‘a bin Adiyy. Nama bapanya juga tercatat sebagai Ribee‘iy dan Rabi‘ah juga. Murarah bin Rabi‘ Amriرضي الله عنه tergolong dalam cabang Amr bin Auf dari suku Aus dari Ansar. Menurut riwayat lain, beliau berasal dari suku Quza‘ah, sebuah sekutu Bani Amr bin Auf. Quza‘ah adalah suku yang terkenal di Arab, yang tinggal dalam jarak sepuluh batu dari Madinah, melepasi Lembah al-Qura. Mereka tinggal di sebelah barat Madain Saleh.
Murarah bin Rabi‘ Amriرضي الله عنه mendapat penghormatan untuk menyertai Perang Badar. Menurut Imam Bukhari (rh) dan kitab-kitab lain tentang Sahabat (ra), ia menyebut bahawa dia mengambil bahagian dalam Perang Badar. Manakala, menurut senarai yang disusun oleh Ibn Hisham, beliau tidak disebut dalam senarai Sahabat (ra) yang menyertai Perang Badar.
Taubatnya ditangguhkan selama 50 hari sehingga Allah mengampuninya dengan Surah Taubah ayat 117 – 118. Dua orang lagi ialah Ka'ab bin Malikرضي الله عنه dan Hilal Ibn Umayyah رضي الله عنه '.
Seperti yang disebutkan sebelum ini, beliau adalah antara tiga sahabat yang tidak dapat mengambil bahagian dalam Perang Tabuk dan mengenainya Allah SWT menurunkan ayat Al-Quran berikut;
[Sesungguhnya Allah telah bertaubat kepada Nabi dan orang-orang Muhajirin dan Penolong-penolong yang berdiri mendampinginya di waktu kesusahan setelah hati segolongan dari mereka hampir goyah. Dia kemudian menerima taubat mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyayang lagi Maha Penyayang kepada mereka. Dan ˹Allah juga telah mengasihani ketiga orang yang tinggal di belakang, ˹yang kesalahan mereka menyusahkan mereka˺ hingga bumi, walaupun luasnya, seolah-olah menutupi mereka, dan jiwa mereka dirobek kesakitan. Mereka mengetahui bahawa tiada tempat berlindung daripada Allah melainkan kepada-Nya. Kemudian Dia memberi rahmat kepada mereka, supaya mereka bertaubat. Sesungguhnya Allah jualah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.]
{Surah Taubah: Ayat 117-118]
Seperti yang telah disebutkan sebelum ini, ketiga-tiga sahabat ini – Hilal bin Umaiyyah رضي الله عنه‘, Murarah bin Rabi‘ Amriرضي الله عنه‘ dan Kaab bin Malik رضي الله عنه‘ – adalah dari kalangan Ansar.
Merujuk kepada kejadian ini, tidak ada catatan berasingan oleh Murarah bin Rabi‘ Amriرضي الله عنه‘. Satu-satunya riwayat yang terperinci adalah oleh Kaab bin Malik رضي الله عنه‘, yang telah disebutkan dalam khutbah sebelumnya berhubung dengan Hilal bin Umaiyyah رضي الله عنه‘, oleh itu tidak perlu disebutkan lagi di sini.
KISAH TAUBAT TIGA ORANG SAHABAT YANG TIDAK IKUT DALAM PERANG TABUK
وَحَدَّثَنِيهِ مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ، حَدَّثَنَا حُجَيْنُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، بِإِسْنَادِ يُونُسَ عَنِ الزُّهْرِيِّ، سَوَاءً .
Setelah menempuh perjalanan panjang dan lama dari Tabûk, Rasulullahﷺ dan pasukan kaum Muslimin tiba di Madinah. Setibanya di Madinah, Rasulullahﷺ memasuki masjid lalu shalat dua rakaat. Demikianlah kebiasaan beliau setelah melakukan perjalanan jauh.
Lalu Rasulullahﷺ duduk dan orang-orang yang tidak ikut dalam perang Tabûk mulai berdatangan menemui Rasulullahﷺ sambil menjelaskan alasan mereka tidak ikut dalam perang Tabûk. Orang-orang munafik yang tidak ikut dalam peperangan tersebut menyebutkan berbagai alasan dusta, namun Rasulullahﷺ tetap menerima alasan-alasan yang mereka ucapkan, membai’at mereka kembali dan memohonkan ampunan buat mereka, sedangkan urusan hati mereka diserahkan kepada Allâh Azza wa Jalla.
Diantara yang tidak ikut dalam perang Tabûk tersebut adalah tiga orang Sahabat Rasûlullâh yang mulia yaitu Ka'ab bin Malikرضي الله عنه , Hilal bin Umayyahرضي الله عنه dan Murarah bin ar-Rabi’ رضي الله عنه. Berbeda dengan orang-orang munafik yang menyampaikan alasan palsu, tiga orang sahabat yang mulia menyampaikan kondisi mereka yang sebenarnya. Mereka mengaku tidak memiliki udzur yang menghalangi mereka untuk mengikuti Rasulullahﷺ dalam perang Tabûk tersebut. Mereka melakukan itu dengan harapan agar Allâh Azza wa Jalla berkenan mengampuni kesalahan yang telah mereka lakukan itu. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak penuturan sahabat yang mulia رضي الله عنه berikut ini[1]:
“Saya tidak pernah tertinggal dari Rasulullahﷺ dalam peperangan yang Rasulullahﷺ lakukan kecuali perang Tabûk. Walaupun saya pernah tertinggal dari perang Badr, tapi Rasulullahﷺ tidak mencela saya dan siapapun yang tertinggal, karena waktu itu kami mengira Rasulullahﷺ keluar hanya untuk menghadang kafilah dagang Quraisy, hingga akhirnya Allâh Azza wa Jalla mempertemukan Rasulullahﷺ dengan musuh-musuhnya.
Saya belum pernah merasa lebih kuat dan lebih mudah daripada keadaan saya ketika tertinggal dari Rasulullahﷺ dalam perang (Tabûk) tersebut. Demi Allâh, saya belum pernah mengumpulkan dua kendaraan sama sekali dalam sebuah peperangan kecuali perang Tabûk.”
Meski demikian keadaan Murarah bin ar-Rabi’ رضي الله عنه. , namun disaat kaum Muslimin mempersiapkan diri untuk berangkat ke medan perang, Murarah bin ar-Rabi’ رضي الله عنه. pulang dan tidak bergegas melakukan persiapan. Murarah bin ar-Rabi’ رضي الله عنه. terus menunda-nunda persiapan, sehingga akhirnya benar-benar tertinggal oleh pasukan kaum Muslimin yang berangkat bersama Rasulullahﷺ. Sepeninggal Rasulullahﷺ dan pasukan kaum Muslimin, betapa gusar dan sedih hati Murarah bin ar-Rabi’ رضي الله عنه. , kerana melihat orang-orang yang masih berada di Madinah adalah orang-orang yang memiliki udzur (alasan yang dibenarkan syari’at-red) untuk tidak ikut berperang atau orang-orang yang dikenal sebagai orang munafik.
Menjelang kedatangan Rasulullahﷺ dan kaum Muslimin, keinginan buruk muncul dalam benaknya. Kaab bin Malik رضي الله عنه mengatakan, “Ketika sampai berita bahwa Rasulullahﷺ dan kaum Muslimin bersiap-siap untuk kembali, muncul keinginanku untuk berbohong. Saya berkata dalam hati, ‘Dengan apa kira-kira saya bolih lepas dari murka Rasulullahﷺ besok?’
Namun tatkala diberitakan bahwa Rasulullahﷺ sudah mulai bergerak menuju Madinah, keinginan untuk berbohong itu hilang. Murarah bin ar-Rabi’ رضي الله عنه. menguatkan hati untuk berkata jujur dengan segala resikonya.
Setibanya di Madinah, Rasulullahﷺ dan pasukannya disambut oleh penduduk Madinah. Kemudian Rasulullahﷺ menuju masjid dan shalat dua rakaat. Itulah kebiasaan Rasulullahﷺ setiap kembali dari safar. Setelah itu, Rasulullahﷺ duduk untuk menerima dan mendengarkan udzur orang-orang yang tidak ikut berperang. Rasulullahﷺ Ka’b mengatakan, “Saya datang menemui Beliau dan mengucapkan salam. Rasulullahﷺ tersenyum masam kepada saya seraya bertanya, “Mengapa engkau tertinggal? Bukankah engkau telah menjual dirimu (untuk membela Islam)?”
Saya menjawab, ‘Tentu. Sungguh, demi Allâh! Wahai Rasûlullâh! Seandainya aku duduk dengan orang lain di dunia ini pasti aku akan merasa bisa lolos dari kemarahannya dengan alasan (yang bisa diterima-red), karena Saya diberi kemampuan berdebat. Akan tetapi, demi Allâh! Saya tahu, seandainya saya berbicara kepada Anda hari ini dengan satu kebohongan yang bisa membuat Anda meridhai saya, pastilah Allâh Azza wa Jalla akan membuat Anda marah kepada saya. Sungguh, seandainya saya berbicara kepada Anda dengan jujur, niscaya Anda melihatnya ada pada saya. Saya betul-betul berharap ampunan dari Allâh Azza wa Jalla dalam masalah ini. Demi Allâh! Saya tidak memiliki udzur sama sekali. Saya tidak pernah merasa lebih kuat dan lebih mudah sama sekali dibandingkan ketika saya tertinggal dari Anda.”
Kemudian Rasulullahﷺ bersabda, “Kerana dia sudah berlaku jujur, maka berdirilah sampai Allâh Azza wa Jalla memberi keputusan tentangmu.”
Hal yang sama sudah dilakukan oleh dua Sahabat Rasûlullâh yang lainnya sebelum Murarah bin ar-Rabi’ رضي الله عنه yaitu Ka'ab bin Maliki رضي الله عنه’ dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi رضي الله عنه.
Sejak saat itu, Rasulullahﷺ mulai melarang kaum Muslimin berbicara dengan mereka. Kondisi ini tentu membuat mereka sedih dan tertekan. Semakin bertambah hari, semakin berat tekanan yang mereka rasakan. Mereka merasa terasing di Madinah. Kedua sahabat Ka’ab bin Malik رضي الله عنه dan Murarah bin Ar-Rabi رضي الله عنه merasa sangat tertekan dan hanya duduk di rumah mereka sambil menyesali apa yang telah mereka lakukan. Sedangkan Ka’ab bin Malik رضي الله عنه yang lebih muda dan lebih tabah, selalu keluar dan ikut shalat bersama kaum Muslimin, berkeliling di pasar-pasar meskipun tidak ada seorang pun mengajaknya bicara, bahkan Abu Qataadah رضي الله عنه sepupu beliau tidak mau berbicara dengan beliau Ka’ab bin Malik رضي الله عنه .
Baca Juga Mari Bertaubat!
Dalam keadaan seperti itu, utusan Raja Ghassan datang mencari dan menemui Ka’ab bin Malik رضي الله عنه di pasar untuk menyerahkan sepucuk surat yang ternyata isinya, “Amma ba’du,… Sampai berita kepadaku bahwa temanmu (Muhammad ) mengucilkanmu. Allâh tidak akan menjadikanmu tetap di tempat yang hina dan tersia-sia. Datanglah kepada kami, niscaya kami memuliakanmu.”
Akan tetapi, beliau Ka’ab bin Malik رضي الله عنه adalah orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya serta mencintai Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Dalam keadaan terkucil, terasing, dan tidak diajak bicara, bahkan oleh kerabat yang sangat dicintai, seandainya beliau orang yang lemah iman, tentu akan dengan mudah menyambut tawaran itu.
Setelah membacanya Ka’ab bin Malik رضي الله عنه berkata, “Ini juga ujian,” lalu menyalakan api dan membakarnya.
Demikianlah seharusnya yang dilakukan oleh orang yang ingin menyelamatkan diri dari fitnah : “Menghancurkan sesuatu yang menjadi sebab timbulnya fitnah bagi dirinya”.
Ka’ab bin Malik رضي الله عنه juga mengatakan, “Empat puluh hari berlalu, ketika utusan Rasulullahﷺ datang menemui saya dan berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullahﷺ memerintahkan engkau agar menjauhi istrimu.’
Saya bertanya, ‘Apakah saya harus menceraikannya atau apa yang saya lakukan?’ Katanya, ‘Tidak. Engkau hanya diperintah agar menjauhinya dan jangan mendekatinya.’”
Seperti itu juga yang disampaikan kepada dua Sahabat yang lainnya.
Kemudian saya katakan kepada istri saya, “Kembalilah kepada keluargamu. Tinggallah di sana sampai Allâh memutuskan perkara ini.”
Akhirnya, beliau Ka’ab bin Malik رضي الله عنه melewati hari-harinya dalam kondisi demikian selama sepuluh hari, sampai genap lima puluh hari sejak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang semua sahabat berbicara dengan tiga orang sahabat yang tidak ikut dalam perang Tabûk.
Satu bulan lebih, wahyu tidak juga turun. Itulah salah satu rahasia hikmah Allâh Azza wa Jalla dalam setiap urusan besar, sehingga kaum Muslimin benar-benar merasa rindu kepada wahyu itu.
Pada hari kelima puluh, kerinduan hati para sahabat terhadap wahyu terobati. Luapan kegembiraan terlihat jelas dari ucapan dan perbuatan mereka. Ka’ab bin Malik رضي الله عنه menceritakan peristiwa mengharukan itu. Ka’ab bin Malik رضي الله عنه mengatakan:
“Seusai shalat Shubuh di hari terakhir (kelima puluh), ketika saya sedang berada di atas rumah, persis seperti diterangkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala, “Jiwa terasa sesak, dan bumi pun terasa sempit, padahal dia begitu luasnya,” saya mendengar suara teriakan di atas bukit cadas, dia berteriak sekeras-kerasnya, “Wahai Ka’ab bin Mâlik, bergembiralah!”
Mendengar itu, saya pun sujud. Saya tahu, telah datang kelapangan dan Rasulullahﷺ telah memberitahukan bahwa Allâh Azza wa Jalla menerima taubat kami. Kaum Muslimin berduyun-duyun memberi ucapan selamat kepada saya dan dua Sahabat itu. Ada yang datang dengan berkuda, ada pula dari bani Aslam berjalan cepat ke arah saya, mendaki gunung. Namun suara lebih cepat daripada kuda. Setelah pemilik suara itu datang, saya melepas baju saya dan memberikannya kepada orang itu sebagai hadiah atas berita gembira tersebut, padahal, demi Allâh! Saya tidak punya baju lain selain itu pada hari itu. Akhirnya, saya meminjam sehelai baju dan mengenakannya lalu berangkat menemui Rasulullahﷺ. Orang-orang pun berduyun-duyun mengucapkan selamat kepada saya, kata mereka, “Selamat, karena taubatmu diterima oleh Allâh.” Hal itu berlangsung sampai saya masuk ke dalam masjid. Ternyata Rasulullahﷺ sudah dikelilingi oleh para sahabat lain.
Tiba-tiba Thalhah bin ‘Ubaidullah رضي الله عنه berlari-lari kecil menyambut dan menyalami saya sembari mengucapkan selamat. Demi Allâh, tidak ada satu pun Muhajirin yang berdiri selain dia. Saya tidak akan melupakan hal ini dari Thalhah رضي الله عنه .”
Demikianlah keadaan mereka, yaitu orang-orang yang mencintai untuk saudaranya apa yang dicintainya untuk dirinya. Mereka tidak iri atau dengki atas kelebihan yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada saudara mereka, berupa turunnya wahyu yang agung menerangkan taubat mereka diterima. Bahkan, mereka mengucapkan selamat sampai Ka’ab bin Malik رضي الله عنه masuk ke masjid.
Ka’ab bin Malik رضي الله عنه mengatakan, “Setelah saya mengucapkan salam kepada Rasulullahﷺ, Rasulullahﷺ berkata dengan wajah berseri-seri:
أَبْشِرْ بِخَيْرِ يَوْمٍ مَرَّ عَلَيْكَ مُنْذُ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ
Bergembiralah dengan sebaik-baik hari yang telah engkau lewati sejak engkau dilahirkan ibumu’.”
Saya bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Apakah ini dari engkau atau dari sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala ?”
Rasulullahﷺ menjawab, “Dari sisi Allâh.” Dan kalau Rasulullahﷺ gembira, wajahnya bersinar laksana kepingan bulan purnama.
Setelah duduk di hadapan Rasulullahﷺ , saya berkata, ‘Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya sebagai bukti taubat, saya menyerahkan seluruh harta saya untuk sedekah kepada Allâh dan Rasul-Nya.”
Rasulullahﷺ berkata, “Tahanlah sebagian hartamu! Itu lebih baik.”
Saya berkata, “Sesungguhnya saya menahan bagian yang saya peroleh dari Khaibar.”
Kemudian saya berkata lagi, “Wahai Rasûlullâh! Sungguh Allâh Azza wa Jalla telah menyelamatkan saya dengan wasilah kejujuran, maka sebagai bentuk taubat saya juga, saya tidak akan berbicara kecuali yang benar selama saya masih hidup.”
Ka’ab bin Malik رضي الله عنه juga mengatakan, “Demi Allâh! Saya tidak melihat ada seorang Muslim pun yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala beri ujian dalam hal kejujuran – sejak saya menyebutkan hal itu kepada Rasulullahﷺ – yang lebih baik daripada yang diberikan kepada saya.
Belum pernah pula saya sengaja berdusta sejak mengatakan hal itu kepada Rasulullahﷺ sampai hari ini. Sungguh, saya berharap Allâh Azza wa Jalla memelihara saya dalam sisa-sisa umur saya.”
Allâh Azza wa Jalla telah menurunkan wahyu kepada Rasulullahﷺ ,
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ
الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّهُ بِهِمْ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ ﴿١١٧﴾ وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ
عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ
مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
١١٨} يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Baca Juga Keistimewaan Sedekah, Renungan Bagi Orang Sakit
“Sesungguhnya Allâh telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allâh menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allâh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allâh, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allâh menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allâh-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar;
— Abdullah Muhammad Basmeih
[At-Taubah/9:117—119]
Ka’ab bin Malik رضي الله عنه juga mengatakan, “Demi Allâh! Allâh Azza wa Jalla tidak pernah memberi nikmat kepadaku yang lebih besar bagi diri saya – sesudah memberi saya hidayah kepada Islam – dibandingkan dengan nikmat kejujuran kepada Rasulullahﷺ . Saya tidak akan berdusta kepada Rasulullahﷺ yang akibatnya saya binasa sebagaimana binasanya mereka yang telah berdusta kepada Rasulullahﷺ .”
Demikianlah kisah kejujuran tiga orang Sahabat Rasulullahﷺ dan buah manis yang mereka petik dari prilaku terpuji tersebut.
Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk orang-orang yang bisa mengambil pelajaran dari kisah di atas dan Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk orang-orang yang senantiasa berkata jujur.
FAEDAH DARI KISAH DIATAS
Seorang Muslim boleh menceritakan dosanya sesudah taubat agar membangkitkan semangat orang lain untuk bertaubat, apalagi bila dosa itu tersebar dan diketahui orang banyak. Adapun dosa yang sifatnya rahasia atau yang terang-terangan tapi belum bertaubat, tidak boleh diceritakan agar tidak mendorong orang lain berbuat seperti itu, dan diapun menjadi golongan orang-orang yang mujâharah (terang-terangan berbuat dosa)
Seorang Mukmin merasa sedih ketika menelantarkan sebuah kewajiban.
Seseorang boleh menceritakan kelalaian dan kekurangannya dalam menjalankan ketaatan kepada Allâh dan Rasulullahﷺ selama itu bukan untuk tujuan pamer kesalahan (mujâharah), sebagaimana riwayat tentang Ka’b Radhiyallahu anhu yang menceritakan ketidakikutan beliau dalam perang Tabûk.
Seseorang boleh memuji dirinya dengan kebaikan yang dimilikinya apabila hal itu tidak dilakukan untuk kesombongan dan berbangga-bangga.
Seorang imam atau yang ditaati tidak boleh membiarkan begitu saja orang yang melanggar dalam sebagian perintahnya. Dia harus mengingatkannya agar kembali dalam ketaatan dan bertaubat, sebagaimana dilakukan Rasulullahﷺ ketika bertanya tentang Ka’ab bin Malik رضي الله عنه yang tidak ikut dalam perang Tabûk.
Rasulullahﷺ menerima ucapan orang-orang munafik yang menampakkan keislamannya dan menyerahkan apa yang mereka sembunyikan dalam hati-hati mereka kepada Allâh Azza wa Jalla. Rasulullahﷺ menghukumi mereka berdasarkan apa yang tampak dari mereka dan tidak menjatuhkan sanksi berdasarkan apa yang mereka sembunyikan, sebagaimana dilakukan Rasulullahﷺ terhadap orang-orang yang datang menyampaikan udzur yang menghalangi mereka dari perang Tabûk.
Ka’ab bin Malik رضي الله عنه sujud ketika mendengar suara orang yang memberi kabar gembira kepadanya. Ini menunjukkan kebiasaan para sahabat. Sujud itu adalah sujud syukur ketika mendapat kenikmatan yang baru atau terhindar dari bencana. Saiyidina Abu Bakar رضي الله عنه juga bersujud ketika mendengar berita bahwa Musailamah al-Kadzdzâb telah terbunuh. Juga Sayyidina Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه bersujud ketika mendapatkan Dza Tsadyain terbunuh diantara para khawarij. Mereka semua ini mencontoh Rasulullahﷺ . Rasulullahﷺ telah bersujud beberapa kali untuk kejadian yang menggembirakan. Saiyidina Abu Bakar رضي الله عنه menyatakan:
أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ إِذَا أَتَاهُ أَمْرٌ يَسُرُّهُ خَرَّ لِلَّهِ سَاجِدًا
Sesunggunya Rasulullahﷺ dahulu bila datang kepada beliau perkara yang menggembrikan maka beliau sujud kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
[HR. Abu Daud on. 2774. Hadits ini dinilai sebagai hadits shahih oleh al-Albani].
Diantara contohnya adalah sujud Beliau ketika mendengar berita bahwa Hamadaan telah memeluk Islam melalui tangan Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه .
Dianjurkan bersedekah ketika bertaubat sesuai dengan kemampuan, sebagaimana diceritakan dalam sikap Ka’ab bin Malik رضي الله عنه di atas saat berbicara dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
References:
(Sahih al-Bukhari, Kitabul Maghazi, Bab Hadith Kaab bin Malik, Hadith 4418) (Usdul Ghabah, Vol. 5, p. 129, Murarah bin Rabee’ra, Dar-ul-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2003)
(Usdul Ghabah, Vol. 5, p. 129, Murarah bin Rabee‘ (ra), Dar-ul-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2003) (Al-Isabah Fi Tamyeez Al-Sahabah, Vol. 6, p. 52, Dar-ul-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2003) (Farhang Sirat, p. 237, Zawwar Academy Publications, Karachi, 2003)
lmanhaj.or.id/6262-kisah-taubat-tiga-orang-sahabat-yang-tidak-ikut-dalam-perang-tabk.html




No comments:
Post a Comment